📃SERIAL FIQIH
Apakah Anjing Itu Najis?
Pendapat ulama dalam masalah ini sebagai berikut;
- Kebanyakan Ahli Fiqih Malikiyah berpendapat bahwa anjing tidaklah najis, baik air liurnya maupun badannya. Dan perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mencuci bejana yang dijilat anjing adalah perkara ta’abbudiyyah (semata-mata beribadah yaitu mematuhi perintah), bukan karena najisnya anjing atau air liurnya
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ausath 1/307 yaitu beliau berkata :”….dan dalil-dalil yang menetapkan najisnya air yang dijilati anjing tidak ada sama sekali, dan perintah Nabi Shallallahu alaihi wasallam untuk mencuci bejana yang dijilati anjing sebanyak 7 kali bukanlah dalil tentang najisnya air yang dijilati tersebut, yang demikian itu karena hamba-hamba Allah Ta’ala beribadah kepadanya sebagaimana yang dia kehendaki. Dan termasuk peribadatan [yang dikehendaki] yaitu Ia memerintahkan mencuci anggota badan yang tidak terkena najis, semata-mata karena ibadah. Oleh karena itu Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang orang yang junub untuk mandi, sedangkan Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah bersabda kepada seorang yang junub :’Seorang mukmin tidaklah najis” dan Sabda beliau Shallallahu alaihi wasallam:
طهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلب أن يغسل سبع مرات أولاهن بالتراب
Artinya:” sucinya bejana diantara kalian apabila dijitali anjing adalah mencuci dengan 7, yang petama dengan debu.”
Maka sabda beliau Shallallahu alaihi wasallam ini, mempunyai kemungkinan “suci yang bersifat ta’abbudiyah (semata-mata karena beribadah) bukan karena najis.” apabila suatu perkara mempunyai kemungkinan dua makna, tidak boleh berpaling terhadap salah satunya dengan tanpa dalil. Dan ulama telah bersepakat bahwa najis hilang dengan 3 kali cucian. Dan sebagian ulama berpendapat “bisa hilang dengan satu kali cucian saja, seperti darah, kencing, kotoran dan khamr”. Dan tidak boleh dikatakan “hukum air yang bercampur air liur anjing, merupakan najis besar karena seandainya benar bahwa air liur anjing termasuk najis tentu mencuci bejana tersebut wajib 3 kali atau 2 kali saja (menurut pendapat sebagian ulama). Dan juga tentu 4 cucian terakhir adalah suatu ibadah, dengan demikian tidaklah masuk akal bahwa najis masih tersisa setelah cucian yang ketiga, dan apabila demikian sedangkan mereka berbeda pendapat dalam wajibnya 3 kali mencuci, maka wajib 3 kali mencuci tersebut perkara ta’abudiyah saja, sebagaimana 4 kali yang tersisa. Dan yang tidak mengetahui satu hujjah pun bagi orang yang menetapkan najisnya air liur anjing
Ringkasnya perkataan ini adalah:
- Perintah Rasulullah ﷺ untuk mencuci an bejana yang dijilat anjing adalah perkara ta’abbudiyah (semata-mata karena ibadah bukan karena najis). Sebagaimana Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mencuci kedua tangan setelah bangun tidur. Dan ulama telah bersepakat “bahwa najis itu hilang dengan 3 kali cucian” dan sebagaimana ulama yang lain mengatakan “bahkan hilang dengan 1 kali cucian saja” dan tidak boleh dikatakan bahwa hukum air yang tercampuri air liur anjing itu najis besar.
- Bahwa hadits ” sucinya bejana diantara kalian apabila dijilat anjing….” mempunyai kemungkinan bersuci karena najis. Sehingga tidak boleh berpaling pada satu dari kemungkinan tersebut dengan tanpa Hujjah.
- Tidak diketahui adanya satu Hujjah pu.bagi orang yang menetapkan najisnya air liur anjing.
- Sebagian ulama berpendapat “najisnya anjing” berdasarkan a) Hadits Abu Hurairah:
إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا
Artinya: Apabila anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah 7 kali.
b) Hadits
طهور إناء أحدكم إذا ولغ الكلب أن يغسله سبعا
Artinya: Sucinya bejana kalian apabila anjing menjilatinya adalah dicuci 7 kali.
Tetapi yang paling kuat adalah pendapat pertama. Karena jikalau ijma’ itu benar bahwa najis itu hilang dengan 3 kali mencuci atau 1 kali, kemudian ada perkara yang disuruh untuk dicuci lebih dari 3 kali, maka perkara tersebut adalah ta’abbudiyah.
Ibnu Daqiq Al Eid: ” [Hadits tersebut] dibawa kepada najisnya anjing / liburnya, itu lebih utama, karena ketika suatu hukum berkisar antara ta’abbudiyah dengan makna yang masuk akal (misalnya diperintahkan mencuci karena najis) maka makna yang masuk akal tersebut lebih didahulukan, karena ta’abbudiyah jarang sekali dibandingkan dengan hukum-hukum yang merupakan suatu makna yang masuk akal. (Thorodit Tatsrib 1/122)
Perkataan Ibnu Daqiq Ied memang benar jika perkara tersebut karena suatu makna yang masuk akal, sebagaimana telah lewat penjelasannya. Dan yang lebih menguatkan bahwa anjing adalah suci adalah firman Allah Ta’la
Al-Ma’idah 5:4
يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمْۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۙ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ ٱلْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُۖ فَكُلُوا۟ مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهِۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, ”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Al-kaidah:4]
[Dari ayat tersebut diatas binatang buruan yang telah ditangkap anjing] tidaklah terlepas dari air liurnya, sedangkan kita tidak diperintahkan untuk mencucinya.
Apabila ada yang berkata: “Berkata Ibnu Qudamah: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk memakannya [dalam ayat diatas] dan Nabi ﷺ memerintahkan untuk mencucinya [kalau bejana dijilat anjing]. Oleh karena itu, kedua-duanya diamalkan, hanya saja [dalam binatang buruan] tidak wajib mencucinya karena merupakan beban berat [untuk dilaksanakan] sehingga dimaafkan (Al-mughni 1/42)
Maka jawabannya: Allah Ta’ala memerintahkan untuk memakannya itu merupakan bukti (dalil) tidak najisnya, dan Nabi ﷺ memerintahkan untuk mencuci [bejana yang dijilati anjing] merupakan ta’abbudiyah sehingga perintah keduanya diamalkan. Adapun tidak wajibnya mencuci pada [binatang buruan] karena beratnya hal tersebut, ini perlu mendatangkan dalil.
Apabila ada yang berkata: al Berkata Asyaukani: “…..bagaimana dikatakan ta’abbudiyah?, padahal beliau ﷺ memerintahkan untuk membuang air yang dijilati anjing” (Nailul awthor 1/64)
Maka jawabannya: perkataan Asy-syaukani ini mengisyaratkan pada hadits Abu Hurairah رضي الله عنه
قال رسول الله ﷺ إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات
Artinya: Rasulullah ﷺ bersabda: apabila anjing menjilati bejana seorang antara kalian, maka buanglah airnya kemudian cucilah 7 kali cucian
Akan tetapi lafadz (فليرقه = Buanglah airnya) diriwayatkan oleh Ali bin Mushir dari Al-A’masy dari Abi Razim dan Abi Sholeh dari Abi hurairah رضي الله عنه secara bersendirian. Riwayat Ali bin Mushir menyelisihi beberapa perawi yang lain, yaitu:
- Abu Mu’awiyah (riwayat Ibnu majah), dan Abu Mu’awiyah ini yang paling kuat periwayatannya dari Al-A’masy
- Isma’il bin zakariya (riwayat muslim)
- Abdul wahid bin ziyad
- Syu’bah
Yang mereka riwayatkan dari Al-A’masy tanpa adanya lafadz (فليرقه = buanglah airnya) tersebut
Dan An-Nasai berkata dalam sunannya no. 66: “aku tidak mengetahui seorang Ulama pun yang mutaba’ah (meriwayatkan sama-sama) dengan Ali bin Mushir dalam lafadz (فليرقه)
Hamzah Al-Kinani berkata: ” lafadz tersebut tidak benar adanya”
Ibnu Abdilbarr berkata:” para ulama huffadz tidak ada yang menyebutkan adanya lafadz tersebut seperti Abu Mu’awiyah Syu’bah”
Ibnu mandah berkata: “adanya tambahan tidak diketahui berasal dari nabi ﷺ sedikitpun kecuali dari Ali bin Mushir.”
Liha: Tuhfatul Asyraf 9/324, Fathul Baari 1/415, Sharh Sunan Nasai 2/235
Catatan penting:
Didalam sebagian jalan periwayatan hadits ada yang berlafadz
(إذا شرب الكلب في إناء أحدكم…)
Artinya: “Apabila seekor anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian…) HR. Bukhari dan Muslim
Hadits ini dari jalan periwayatan Malik dari Abu Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah. Abu bakar Al-Ismaili berkata dalam kitab shahihnya yang maknanya: “Kalau seandainya Malik tidak bersendirian dalam meriwayatkan lafadz itu dari Abu Zinad, [tentu lafadz hadits ini shahih]”, Abu Abdillah bin Manduh: “…..kemudian Hisyam bin urwah, Musa bin Uqbah, Ibnu Uyainah< Syu’aib bin Abi Hamzah dan yang lainnya meriwayatkan dari abu Zinad dengan lafadz ((…..اذا ولغغ الكللب = apabila seekor anjing menjilati…)). Demikian juga Ja’far bin Rabi’ah dan yang lainnya meriwayatkan dari Al-A’raj dengan lafadz ((…إذا ولغ الكلب = apabila seekor anjing menjilati….)). Dan Ubaid bin Husein, Tsabit, Abdurrahman bin Abi Ghumrah, Abu Yunus Salim bin Jubair, Muhammad bin Sirin, Abu Sholeh dan Abu Razif, semuanya meriwayatkan dari Abu Hurairah dengan lafadz ((….إذا ولغ الكلب = Ababila seekor anjing menjiilati…)). (Nasbur Royah 1/186/
Dan berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar . “[lafadz] yang mahfudz (terjaga/benar) adalah riwayat semua murid Abu Zinad dari beliau dengan Lafadz ((….إذا ولغ الكلب = Apabila seekor anjing menjilati…) dan juga riwayat semua murid Abu Hurairah dari beliau dengan lafadz tersebut, [yaitu ((…إذا ولغ الكلب = apabila seekor anjing menjilati….))] (At-Talkhis 1/29)
Dikutip dari Buku Terjemah Adz-Dzakhiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat
Kitab Thaharoh hal 60-66
Karya Ustadz Kholiful Hadi SE, MM -hafidzhahullah-