SEKILAS INFO
: - Sabtu, 23-09-2023
  • 8 bulan yang lalu / Dimulainya KBM Semester Genap Pondok Pesantren Darul Atsar Al-Islamy Tahun Ajaran 2022/2023
  • 10 bulan yang lalu / Telah dibuka PENDAFTARAN SANTRI BARU Tahun Ajaran 2023/2024, dibuka mulai tanggal 10 November 2022, segeralah mendaftar ! quota terbatas !
  • 3 tahun yang lalu / Jangan lupa ! ikuti Live Dars Umum bersama Asatidzah Pondok Pesantren Darul Atsar Al-Islamy di Darul Atsar Channel setiap hari ba’da maghrib

Masalah najisnya darah manusia, ulama berbeda pendapat menjadi dua golongan, yaitu:

1. Mayoritas ulama bependapat darah manusia itu najis, akan tetapi dimaafkan jika jumlahnya sedikit. Karena darah manusia termasuk darah mengalir. Dalil yang digunakan oleh Jumhur Ulama adalah:

  • Firman Allah ﷻ:{قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ}


    Artinya: “Katakanlah : tidaklah aku mendapatkan di dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena daging babi tersebut kotor.” {QS: Al-An’am:145]

  • Keumuman hadits Rasulullah ﷺ, yang berkata kepada Asma’ tentang masalah darah. Rasulullah ﷺ bersabda: ” cucilah dengan air.” Perintah ini bermakna umum termasuk semua darah pada manusia baik yang termasuk luka, haidh, nifas dan lainnya.
  • Kesepakatan ulama tentang najisnya darah, sebagaimana yang dikatakan Qurtubi dalam kitab tafsirnya.

 

2. Malikiyyah berpendapat darah manusia itu suci, Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam kitabnya Syarhul Mumti’ 1/475, Al-albani dalam shahihnya dan Syaikh Muqbil dalam beberapa majelisnya. Dalil yang mereka gunakan adalah:

  • Asal segala sesuatu di muka bumi adalah suci, kecuali jika ada dalil dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menerangkan tentang kenajisannya. Dan kami tidak mengetahui adanya perintah mencuci dalah kecuali darah haidh saja, padahal banyak sekali perkara yang menimpa manusia seperti luka, mimisan, dan bekam. Dan seandainya darah manusia itu najis tentu Rasulullah ﷺ akan menjelaskannya, karena didorong oleh suatu kebutuhan untuk menjelaskan masalah ini.
  • kisah sahabat Anshor yang sedang sholat malam, ketika dalam keadaan sholat datanglah seorang musyrik melemparkan anak panah dan mengenai Sahabat Anshor tersebut. Maka ia mencabutnya, ketika anak panah pertama dicabut, orang muyrik tersebut melemparnya lagi dengan anak panah yang kedua, demikian berlangsung hingga 3 kali. Namun Sahabat Anshorpun ruku’ dan sujud meneruskan sholat dalam keadaan bercucuran darah. Kisah ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Shahihnya abu daud milik Syaikh Al-Albani, kemudia beliau berkata dalam kitabnya tamamul minnah hal 51 ” Bukhari memu’allaqkan hadits ini, sementara imam ahmad dan lainnya memausulkannya……… dan hadits ini dihukumi marfu’ karena jauh kemungkinan Rasulullah ﷺ tidak mengetahui akan hal ini, kalau sendainya banyaknya darah yang keluar membatalkan sholat tentu Rasulullah ﷺ akan menjelaskannya [karena saat itu dibutuhkan]. Sedangkan mengakirkan penjelasan disaat sedang dibutuhkan itu tidak diperbolehkan, Sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu ushul fikih. dan kalau seandainya Rasullulah ﷺ tidak mengetahui perkara ini, tentu Allah ﷻ mengetahuinya. Maka jika darah membatalkan sholat atau darah itu najis tentu akan diwahyukan kepada Nabi ﷺ sebagaimana ini sudah jelas. Oleh karena itu Imam Bukhari berpendapat sebagaiman hukum yang bisa disimpulkan dari kisah yang beliau keluarkan secara mu’allaq didalam kitab shohihnya, yang kemudian ditampakkan dalam Fathul Bari oleh Imam Ibnu hajar, [yaitu kisah tersebut menunjukkan bahwa darah manusia tidak najis]. Demikian juga pendapat Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-muhalla 1/255.                                                                                                                                               Akan tetapi kisah ini olehh Imam Bukhari dalam keadaan mu’allaq dan dimaushulkan oleh Imam Abu Daud (No. 195) dan Imam Ahmad dari jalam periwayatan Muhammad bin Ishaq, bahwa ia berkata telah bercerita kepada kami Shodaqoh bin Yassar dari ‘Aqil bin Jabir dari Jabir رضي الله عنهnamun ‘Aqil bin Jabir majhul ‘ain, Imam Adz-dzahabi berkata: “jalan periwayata dari ‘Aqil bin Jabir majhul karena hanya Shodaqoh yang meriwayatkan darinya”. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “aku tidak mengetahui ada perawi lain yang meriwayatkan darinya selain Shodaqoh bin Yassar”.
  • Sungguh telah mutawatir (tidak bisa diingkari lagi) tentang kabar orang-orang yang berjihad di jalan Allah ﷻ yang mereka berjihad dan merasakan pedihnya lebih dari yang kita bayangkan. Dan tidak mungkin seorangpun mengingkari aliran darah dari luka-luka mengotori baju-baju mereka. Dan dalam keadaaan seperti itu mereka sholat kepada Allah ﷻ. Namun tidak ada penukilan dari Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk melepas baju-baju mereka yang berlumuran darah, (dinukil dari aunul ma’bud 1/232.                                                                                                                                                                                                                Jika ada yang mengatakan: “Sesungguhnya kebanyakan sahabat Rasulullah ﷺ keadaan mereka sangat fakir dan terkadang mereka tidak mempunyai baju kecuali yang mereka pakai saja, lebih-lebih mereka sedang dalam kondisi perang, mereka keluar dari negeri-negeri mereka dengan membawa satu baju yang mereka pakai saja, sehingga kondisi mereka adalah kondisi darurat.”         Maka dijawab : Kalau kondisinya seperti itu, tentu akan ada periwayatan dari mereka tentang bersegeranya pada sahabat untuk mencucinya kapan saja mereka menjumpai air atau menjumpai desa atau keadaan yang semakna dengan ini.”
  • Bahwanya mayat manusia adalah suci. Demikian ikan bangkainya juga suci. dan jika engkau mengatakan bahwasanya darah ikan itu suci disebabkan bangkainya suci, maka demikian juga dengan darah manusia juga suci disebabkan darahnya suci.

 

Kesimpulan:

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang kedua -wallahu a’lam- adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh jumhur ulama, kita jawab sebagai berikut.

Dalil pertama: Dhomir pada kata { فَاِنَّهٗ رِجْسٌ} kembali kepada daging babi, hal ini disebabkan beberapa hal. Ibnul Qayyim berkata sebagaimana dalam kitabnya Bada’it Tafasir: “Sesungguhnya yang kuat kembalinya dhomir (هٗ) tersebut khusus ke daging babi karena beberapa perkara 

a. Daging babi dalam ayat letaknya yang paling dekat dengan dhomir

b. Karena Dhomir tersebut dalam bentuk mufrod mudxakkar dan tidak mengatakan { فَاِنَّهٗا رِجْسٌ} 

c. Digunakan huruf (فَ) dan (اِنَّ) sebagimana pemberitahuan sebab pengharomannya, supaya jiwa dapat membentengi diri.

 

Dalil kedua: Tentang hadits Asma’ dihususkan untuk darah haidh saja,  dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah ini.

 

Dalil Ketiga: Tentang penukilan Imam Qurtubi dalam tafsirnya bahwa darah manusia itu najis menurut kesepakatan ulama, penukilan ini memerlukan penelitian lebih lanjut, karena beberapa perkara sebagai berikut:

a. Pendapat ini diselisihi oleh pendapat Malikiyyah, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.

b. Al-albani berkata dalam kitabnya Ash-shahih: ” adanya penukila Imam Qurtubi (bahwa ulama bersepakat tentang najisnya darah) secara umum perlu dilihat kembali dari dua segi, Pertama: Bahwanya Ibnu Rusyd menyebutkan darah dalam kitabnya (Bidayatul Mutahid wa Nihayatul Muqtashid) dalam bentuk muqoyyad (khusus dengan darah tertentu), yaitu beliau berkata: “Ulama bersepakat atas najisnya darang hewan yang hidup di darat, dan mereka berbeda pendapat dalam najisnya darah ikan. Kedua: ada beberapa atsar dari sebagian salaf yang membatalkan [penukilan Imam Qurtubi tersebut diatas]. Seperti kisah shahabt anshor yang dipanah ketika beliau sedang sholat dan beliau tetap melanjutkannya –dan kisah tersebut dho’if sebagaimana penjelasan yang telah lalu-. Dan riwayat dari Muhammad bin Sirin dari Yahya Al-Jazari, ia berkata: “Ibnu Mas’ud mengerjakan sholat dan diperutnya terdapat kotoran dan darah dari onta yang disembelihnya dan ia tidak berwudhu terlebih dahulu.” diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih.

Jika ada berkata: “Sesungguhnya Fatimah mencuci darah Rasulullah ﷺ pada perang uhud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad dalam bukhari dan Muslim, dan ini menunjukkan najisnya darah manusia.

Maka dijawab, bahwa dalam masalah ini ada dua sisi. Pertama: Bahwasnya kejadian tersebut hanya semata-mata hanya suatu perbuatan, dan suatu perbuatan tidak menunjukkan akan wajibnya, Kedua: Kejadian tersebut mengandung sebuah kemungkinan bahwa Fatimah ingin membersihkan darah dari wajah Rasulullah ﷺ yang mana manusia tidak akan rela jika diwajah beliau yang mulia ada darah meskipun sedikit. dengan demikian berdalil dengan perbuatan Fatimah tersebut batal karena adanya kemungkinan-kemungkinan tersebut. 

 

Adapun perkataan mereka : “dimaafkan jika sedikit” Maka Syaikh Ibnu ‘Utsaimin telah berkata: “Pernyataan ini membutuhkan dalil, kami katakan mereka menetapkan bahwa darah itu najis kemudian mereka menetapkan jika sedikit maka dimaafkan, [ini tidak benar]. Karena pada dasarnya najis tidak dimaafkan walaupun haya sedikit, tetapi orang yang mengatkan bahwa darah manusia adalah suci tidaklah membutuhkan kecuali satu dalil saja yaitu yang mengatakan bahwa darah itu suci. (dalam kitabnya Ash-syarhul mumti’), dan Syaikh Al-albani berkata:” perbedaan antara darah sedikit dengan banyak……. pendapat ini walaupun ada sebagian imam yang mendahuluinya, tetapi pendapat ini tidak ada dalil dari sunnah yang mendasarinya.

 

Pembahas: Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM hafidzahullah

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Visi Misi Dan Program Unggulan Ponpes

Kegiatan UAS Pondok Pesantren