Apakah Sabun, Pohon Yang Dapat Dipakai Mencuci Dan Yang
Lainnya Bisa Menggantikan Debu (tanah) ketika mencuci bekas jilatan anjing?.
Ahmad dan Asy Syafi’i berpendapat bisa menggantikan kedudukan debu, karena lebih efektif (ampuh) dalam menghilangkan najis. Dengan demikian, dalam hadits tersebut ditetapkan dengan debu untuk memberitahukan terhadap adanya [macam-macam pembersih yan lain] dan juga karena debu merupakan benda kasar [yang bisa menghilangkan najis], sehingga diperintah menggunakannya. Oleh karena itu, pembersih yang paling efektif(ampuh) bisa menggantikan
debu di dalam mencuci air liurnya anjing.
Ibnu Daqiqil l’ed berkata: “[Pendapat] ini menurut kami adalah
lemah karena nash (Al Qur’an dan Al Hadits) apabila menetapkan hukum tertentu dan makna dari suatu tertentu itu ada beberapa kemungkinan, maka tidak boleh mengabaikan dan membuang nash tersebut [tanpa bukti/dalil]. Sedangkan perintah dalam hadits tersebut menggunakan debu,
walaupun hadits tersebut mempunyai kemungkinan makna sebagaimana yang mereka sebutkan, yaitu [mencakup] dzat-dzat yang bersifat pembersih, namun tidak bisa memastikan bahwa hadits tersebut maknanya seperti itu, karena akan bertabrakan dengan makna yang lain,
yaitu [maksud dari hadits itu] menggabungkan dua jenis dzat pembersih yaitu air dan debu. Dan makna ini tidak terdapat dalam sabun dan pepohonan yang bisa digunakan sebagai pembersih. Lagi pula suatu makna yang disimpulkan [dari suatu hadits] apabila hanya sekedar merupakan suatu keterkaitan, maka hal itu bukan perkara yang kuat. Oleh
karena itu, apabila ada beberapa kemungkinan suatu makna hadits, yang benar adalah mengikuti yang telah ditetapkan oleh nash (Al Qur’an da Al Hadits). Dan juga apabila makna yang disimpulkan tersebut akan membatalkan yang ditetapkan oleh nash (Al Qur’an dan Al Hadits) atau akan mengkhususkan nash, maka makna tersebut ditolak menurut semua ulama ushul fiqh” (Al-ahkam 1/320)
Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil I’ed inilah yang paling kuat (benar).
Al ‘Allamah Ali Adam berkata: “…sungguh yang dikatakan oleh
Ibnu Daqiqil I’ed adalah benar yang haknya harus diterima. Dan
kesimpulannya, harus memakai debu, demi mengikuti terhadap hadits yang telah menjelaskannya, karena adanya penetapan [memakai debu dalam hadits tersebut]. Padahal pada waktu itu ada pembersih selain debu. Maka ini menunjukkan bahwa di dalam debu tersebut terdapat suatu sifat yang berfungsi menghilangkan bekas jilatan anjing. Dengan demikian, tidak pantas berpaling kepada selain debu (tanah)”. (Syarh Sunan Nasa’i)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: “[Pendapat Imam Ahmad da
Asy Safi’i] ini, perlu ditinjau kembali, karena beberapa perkara berikut;
a) Bahwa Nabi menetapkan dengan memakai debu, maka wajib
mengikuti ketetapan beliau.
b) Daun bidara dan pepohonan yang bisa dibuat pembersih sudah ada pada zaman Nabi, tetapi beliau tidak mengisyaratkan [untuk memakai pembersih tersebut].
c) Mudah-mudahan di dalam debu ada unsur-unsur yang dapat membunuh kuman yang ada di dalam air liur anjing.
d) Bahwa debu merupakan salah satu alat bersuci, karena sebagai pengganti air ketika tayamum apabila tidak ada air.
Rosulullah ﷺ bersabda :
(( جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا ))
Artinya:” Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan
sebagaimana alat bersuci. ”
Oleh karena itu, yang benar adalah tidak boleh mengganti debu dengan yang lain. Akan tetapi seandainya diperkirakan tidak ada debu (dan ini kemungkinan yang sangat jauh), maka menggunakan sabun atau pepohonan pembersih lebih baik dari pada tidak menggunakannya” (Asy Syarhu Mumti’ 1/356).
Berkata Ibnu Qudamah: “…hanya saja boleh berpaling kepada
selain debu ketika sudah tidak ada debu… dan ini pendapatnya Ibnu Hamid” (Al Mughni 1/105).
Dikutip dari
Buku terjemah Kitab Adz-dzakhiratun Nafiisah fii Ahkamil ‘ibadat
Kitab thaharoh hal 75-77
Karya Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi S.E.,M.M. -hafidzahullah-