﷽
Keamanan merupakan nikmat yang sangat agung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan sebab keamanan, kaum Muslimin bisa tenang dalam aktivitas ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menuntut ilmu syar’i, ataupun menjalankan aktivitas lainnya untuk kemaslahatan. Dan ketenangan tersebut tidak mungkin terwujud ketika nikmat keamanan sudah tercabut dari suatu negeri. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Aksi-aksi terorisme berupa bom bunuh diri ataupun tindakan-tindakan terorisme lainnya — yang berciri khas
(1) merusak dan
(2) menimbulkan ketakutan publik
Semuanya itu sangat bertentangan dengan Ajaran Rasulullah ﷺ.
Menyikapi aksi-aksi terorisme tersebut, masyarakat Nasional maupun Internasional terbagi menjadi tiga golongan, yakni dua golongan ekstrim dan satu golongan pertengahan.
Golongan Pertama:
Mengidentikkan aksi-aksi terorisme tersebut dengan agama Islam dan kaum Muslimin, lebih khusus orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah ﷺ. Tujuannya, untuk mendiskreditkan agama Islam dan As Sunnah. Dan sikap ini muncul dari orang-orang yang memusuhi Islam, atau memusuhi As Sunnah.
Golongan Kedua:
Menganggap aksi-aksi terorisme tersebut sebagai aksi-aksi kepahlawanan dalam Jihad Fi Sabilillah. Dan sikap ini muncul dari orang-orang yang terjangkiti virus penyimpangan sekte Khowarij, yakni suatu sekte menyimpang yang pada umumnya serampangan dalam memvonis kafir maupun dalam menghalalkan nyawa kaum Muslimin.
Golongan Ketiga (Pertengahan):
Menetapkan bahwa aksi-aksi terorisme tersebut bertentangan dengan ajaran Rasulullah ﷺ. Dan menyatakan bahwa Islam berlepas diri dari aksi-aksi yang tercela, menyimpang, merusak dan berbahaya tersebut, karena memang Islam yang sebenarnya tidaklah mengajarkan tindakan-tindakan seperti itu.
Sikap ketiga inilah sikap yang benar, dalam timbangan Al Quran dan As Sunnah. Inilah sikap Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yakni orang-orang yang berpegangteguh dengan Al Qur
an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman dan metode beragama para Sahabat, semoga Alloh meridhoi mereka semua.
Terkait aksi-aksi terorisme tersebut, muncul stigma-stigma negatif, bahwa Terorisme itu identik dengan Jenggot, Celana Cingkrang (di atas mata kaki), Cadar dan hal-hal semisalnya. Ini tentu saja tidak tepat, karena terorisme adalah pemikiran dan tindakan teror, sama sekali tidak identik dengan penampilan tertentu. Apalagi unsur-unsur penampilan yang mendapat stigma negatif di atas bukanlah ciri khas teroris. Dimana faktanya banyak didapati orang-orang yang berpenampilan seperti itu, tapi justru menentang keras segala macam aksi terorisme, bahkan sangat sungguh-sungguh untuk menyingkap berbagai penyimpangan dalam aksi-aksi yang nyata-nyata bertentangan dengan Ajaran Rasulullah ﷺ tersebut.
Jenderal Polisi (Purn.) Badrodin Haiti, semasa menjabat sebagai Kapolri, beliau menegaskan bahwa ciri teroris itu bukan jenggot dan celana cingkrang (di atas mata kaki). Di antaranya, dalam sambutan beliau pada sebuah Tabligh Akbar di Masjid Istiqlal, hari Sabtu tanggal 02 Januari 2016, beliau menyatakan:
“… Ada stigma-stigma negatif yang ada dalam masyarakat kita, seolah-olah yang mempunyai paham itu adalah orang yang berjenggotan, pakai celananya cingkrang. Itu tidak betul. Saya katakan: itu tidak betul.
… Tidak bisa kita identifikasi secara fisik. Kadang pelaku teroris pakai jeans, pakai kaos, sebagaimana layaknya yang lain. Yang bisa diidentifikasi itu kalau kita berdialog, karena itu pemahaman, karena itu pemahaman, sehingga kita bisa mengidentifikasi seorang ini pahamnya radikal atau tidak, itu kalau kita berdialog…”
Memelihara jenggot termasuk fitrah manusia.
Dalilnya: Hadits riwayat Imam Muslim (no. 261), dari Ibunda ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘anhaa, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
….عَشرٌ مِنَ الفِطرَۃِ : قَصُّ الشَّارِبِ وَاِعفَاءُ اللِّحيَۃِ
“Sepuluh perkara termasuk fitrah manusia, yaitu: memotong kumis, memelihara jenggot …”
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i dalam kitab Fat-hul Bari Syarah Shohih Al Bukhori (10/383), menyebutkan penjelasan Al Qodhi Al Baidhowi, bahwa fithroh yang dimaksud adalah thoriqoh (jalan) yang dipilih oleh para Nabi terdahulu serta telah disepakati dalam Syariat-Syariat mereka, dimana hal tersebut seakan-akan merupakan perkara tabiat yang sudah diciptakan sebagai fithroh mereka.
Rasulullah ﷺ memelihara jenggot.
Dalilnya:
1. Hadits riwayat Imam Muslim (no. 2344) dari Sahabat yang mulia Jabir bin Samuroh Rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ كَثِيرَ شَعرِ اللِّحيَۃِ
“Rasulullah ﷺ itu banyak jenggotnya.”
2. Hadits riwayat Imam An Nasai dalam Sunan-nya (no. 5232) dengan sanad yang shohih dari Sahabat yang mulia Al Barro` bin ‘Azib Rodhiyallohu ‘anhumaa, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّی اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَثَّ اللِۡحيَۃِ
“Rosulullah ﷺ itu lebat jenggotnya.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tahqiq Sunan An Nasai.
Rasululloh ﷺ memerintahkan untuk memelihara jenggot.
Dalilnya: Beberapa hadits shohih, seperti sebuah hadits riwayat Imam Al Bukhori (no. 5892) dan Imam Muslim (no. 259), dari Sahabat yang mulia ‘Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhumaa, bahwa Rasululloh ﷺ bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisihilah kaum musyrikin, dan biarkanlah jenggot tumbuh lebat apa adanya, serta potonglah kumis.”
Imam An Nawawi Asy Syafi’i menjelaskan dalam Syarah Shohih Muslim: “Ada lima riwayat yaitu: ( أَعْفُوا ), ( أَوْفُوا ), ( أَرْخُوا ), ( أَرْجُوا ) dan ( وَفِّرُوا ), semuanya bermakna: ( membiarkan jenggot pada keadaannya ). Inilah dia makna yang nampak dari hadits tersebut sesuai dengan tuntutan lafaz-lafaznya. Dan begitulah pendapat sekelompok sahabat kami (dari kalangan ulama Syafi’iyyah) serta para ulama lainnya.” Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dalam Fathul Bari Syarah Shohih Al Bukhori (Penjelasan Hadits no. 5893).
Lalu di akhir penjelasan, Imam An Nawawi Asy Syafi’i menyampaikan tarjih beliau: “Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot pada keadaannya dan sama sekali tidak memotongnya sedikitpun.”
Jenggot adalah rambut yang tumbuh di kedua pipi dan dagu. Sebagaimana keterangan Imam Ibnul Manzhur dalam Lisanul ‘Arob, Imam Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith dan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i dalam Fathul Bari.
Wajib bagi laki-laki untuk memelihara jenggotnya dengan tanpa menguranginya sedikitpun, sebagaimana pendapat Al Imam Ibnu Hazm Rohimahulloh (wafat 456 H). Dan ini pendapat yang benar, berdasarkan beberapa hadits shahih tentang perintah untuk memelihara jenggot.
Sisi Pendalilan 1:
Rasululloh ﷺ telah memerintahkannya. Dan hukum asal dari suatu perintah Syari’at adalah berfaidah wajibnya sesuatu yang diperintahkan tersebut, sebagaimana telah tetap dalam Ushul Fikih. Sementara dalam hal ini tidak ada dalil lain yang memalingkan hukumnya menjadi sunnah/mustahab (dianjurkan).
Sisi Pendalilan 2:
Rasululloh ﷺ memerintahkan untuk menyelisihi orang-orang Musyrik, termasuk dalam perbuatan mereka yang memanjangkan kumis dan menggundul jenggot. Perintah Beliau di sini juga berfaidah wajib, karena tidak ada dalil lain yang memalingkannya menjadi sunnah/mustahab saja.
Apalagi telah tetap bahwa menyerupai orang-orang kafir dalam kekhususan mereka adalah diharamkan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits shahih riwayat Al Imam Abu Dawud (no. 4031) dari Sahabat yang mulia ‘Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhumaa, bahwa Rasululloh ﷺ bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Di antara Ulama yang menyatakan wajib memelihara jenggot (tanpa menguranginya sedikitpun) adalah Al Imam Al Hafizh Abu ‘Awanah An Naisaburi Al Isfaroyini Rohimahulloh (wafat 316 H), yakni dalam kitab beliau Al Mustakhroj (1/161).
Beliau termasuk Ulama Syafi’iyyah generasi awal, dimana beliau mengambil ilmu Al Imam Asy Syafi’i dari Al Imam Ar Robi’ Al Murodi dan Al Imam Al Muzani, yang keduanya merupakan murid langsung Al Imam Asy Syafi’i. Bahkan Al Imam Adz Dzahabi dalam kitab Siyar A’lamin Nubala` (14/420) menyatakan bahwa Al Imam Al Hafizh Abu ‘Awanah adalah orang yang pertama kali memasukkan Madzhab Asy Syafi’i dan kitab-kitabnya ke negeri Isfaroyin.
Sebagian Ulama berpendapat bahwa jenggot yang panjangnya lebih dari satu genggaman tangan itu dipangkas sampai tersisakan sepanjang satu genggaman tangan, tapi tidak boleh lebih pendek dari itu.
Akan tetapi ini pendapat yang lemah, karena menyelisihi hadits-hadits shohih yang memerintahkan untuk memelihara jenggot tanpa menguranginya sedikitpun. Juga menyelisihi praktek perbuatan Rasululloh ﷺ yang memelihara jenggotnya hingga banyak, lebat dan tebal. Lihat kembali Kesimpulan 7, 8 dan 9.
Bahkan, disebutkan dalam atsar yang hasan dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallohu ‘anhu, bahwa beliau tebal jenggotnya. Begitu pula disebutkan dalam atsar yang shohih dari ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallohu ‘anhu, bahwa jenggot beliau sampai memenuhi antara dua pundaknya. Sementara beliau berdua merupakan menantu Rasululloh ﷺ
Catatan:
Perbedaan pandangan para Ulama dalam masalah ini termasuk Khilaf yang Mu’tabar (dianggap), Wallahu A’lam.
Tidak ada satupun hadits shahih dari Rasullulloh ﷺ, bahwa beliau mengambil sebagian jenggotnya, atau pun memerintahkan hal tersebut.
Adapun hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash Rodhiyallohu ‘anhuma riwayat Al Imam At Tirmidzi (no. 2762), yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ memangkas jenggotnya yakni dari arah melebarnya dan memanjangnya; maka hadits ini sangat lemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Al Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (8/37), karena di dalam sanadnya ada seorang Rowi yang bernama ‘Umar bin Harun bin Yazid Al Balkhi, statusnya Matruk (ditinggalkan) sehingga haditsnya sangat lemah. Bahkan Asy Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah (no. 288) menghukuminya sebagai Hadits Maudhu’ (Palsu).
Begitu pula hadits Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘anhuma riwayat Al Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil sebagian jenggot; maka hadits ini sangat lemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah (no. 2355), karena di dalam sanadnya ada Abu Malik ‘Abdulmalik bin Al Husain An Nakho’i yang statusnya juga Matruk (ditinggalkan).
Al Imam Al Muhaqqiq Ibnul Humam Al Hanafi menegaskan dalam Fathul Qodir Syarah Al Hidayah: “Adapun mengambil (memotong) jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggaman tangan … maka tidak ada seorangpun Ulama yang memperbolehkannya.”
Demikian pernyataan beliau yang dinukilkan dalam Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (2/460).
Al Imam Ibnu Hazm Azh Zhohiri (wafat 456 H) dalam kitab Marotibul Ijma’ (hal. 157) menukilkan kesepakatan para Ulama terdahulu tentang haramnya mencukur jenggot sampai habis. Dan Ijma’ Ulama terdahulu ini merupakan hujjah yang membantah pendapat sebagian Ulama setelahnya yang hanya berpendapat makruh tanzih (dibenci/tidak haram).
Bahkan di antara Ulama yang menegaskan keharamannya adalah Al Imam Asy Syafi’i (wafat 204 H) dalam kitab Al Umm (6/88). Kemudian di antara Ulama Syafi’iyyah yang tetap mengharamkannya adalah Al Imam Abu Bakr Al Qoffal Asy Syaasyi (wafat 365 H), Al Imam Al Halimi (wafat 403 H), Al Imam Al Adzru’i (wafat 783 H), dan Al Imam Zainuddin Al Malaibari dalam kitab Fat-hul Mu’in (hal. 64).
CELANA CINGKRANG
Batasan pakaian bagi laki-laki adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadits shohih riwayat Al Imam An Nasai (no. 5329) dan yang lainnya, dari Sahabat yang mulia Hudzaifah Rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rasululloh ﷺ bersabda:
مَوْضِعُ الْإِزَارِ إٍلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاقِ ، وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ
“Tempatnya sarung itu sampai ke pertengahan betis dan ototnya. Lalu kalau engkau enggan, maka boleh lebih rendah sedikit. Kemudian kalau engkau masih enggan juga, maka boleh sampai di bawah betis. Dan tidak ada hak sama sekali bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung.”
Definisi Isbal:
Dalam Istilah Syar’i, Isbal adalah menjulurkan pakaian serta membiarkannya terurai ke bawah sampai melampaui batasan yang telah ditetapkan dalam Syari’at.
Bersengaja melakukan Isbal adalah terlarang, dan merupakan kesombongan.
DALILNYA:
Hadits shohih riwayat Al Imam Abu Dawud (no. 4084) dan yang lainnya, dari Sahabat yang mulia Jabir bin Sulaim Rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ ، فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيْلَةِ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيْلَةِ
“Dan hati-hatilah kamu dari perbuatan mengisbalkan kain sarung, karena hal itu termasuk kesombongan, dan sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla tidak menyukai kesombongan.”
Faidah:
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i berkata dalam Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori (10/264): “Perbuatan Isbal pasti menunjukkan adanya kesombongan pada diri pelakunya, meskipun dia sendiri tidak merasa memiliki tujuan untuk menyombongkan diri ketika memakainya.”
Asy Syaikh ‘Abdulloh Al Bassam Rahimahulloh berkata dalam kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom (3/620): “Para ulama telah sepakat tentang haramnya menjulurkan pakaian (isbal) dengan angkuh dan sombong.”
Dalil yang mendasari Ijma’ ini sangat banyak, di antaranya:
Dalil Pertama: Hadits shohih riwayat Al Imam Al Bukhori (no. 3665, 5784, 5791) dan Al Imam Muslim (no. 2085), dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhuma, bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa saja yang menjulurkan pakaiannya sampai terseret di tanah karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandangnya (dengan pandangan kasih sayang) pada Hari Kiamat nanti.”
Al Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H) menjelaskan dalam kitab Al Muhalla (2/392): “Hadits ini berlaku secara umum, mencakup celana, sarung, gamis dan semua jenis pakaian.”
Dalil Kedua: Hadits shohih riwayat Al Imam Muslim (no. 106) dari Abu Dzar Al Ghiffari Rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Tiga jenis manusia yang mana pada Hari Kiamat nanti Allah tidak akan berbicara kepada mereka (dengan pembicaraan yang menyenangkan), tidak akan melihat mereka (dengan pandangan kasih sayang), tidak akan menyucikan mereka (dari dosa-dosa), dan mereka mendapat adzab yang pedih.”
Beliau mengulangi perkataan ini sampai tiga kali. Sehingga Abu Dzar Rodhiyallohu ‘anhu berkata: “Sungguh, orang-orang tersebut telah binasa dan merugi. Siapakah mereka itu, wahai Rasululloh?” Beliaupun menjawab:
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Orang yang isbal (karena sombong), orang yang suka mengungkit-ungkit sesuatu yang telah dia berikan, dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu.”
Catatan:
Kata المسبل dalam hadits Abu Dzar Rodhiyallohi ‘anhu, dibawa kepada makna (orang yang Isbal karena sombong) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhumaa sebelumnya. Karena keduanya memiliki kesamaan baik dari sisi sebab maupun hukum. Dimana sebabnya: sama-sama perbuatan Isbal; sedangkan hukumnya: sama-sama tidak dilihat oleh Alloh Ta’ala pada Hari Kiamat nanti dengan pandangan kasih sayang.
Karena kedua hadits tersebut memiliki kesamaan dari sisi sebab maupun hukum, maka dalam hal ini berlakulah Kaidah:
المطلق يحمل على المقيد
“Dalil yang masih muthlaq (global) dibawa pengertiannya kepada dalil yang sudah muqoyyad (diikat dengan batasan makna tertentu).”
Hal ini tentu berbeda dengan pembahasan dalam hal hukum Isbal tanpa sombong, dimana dalil-dalil yang ada memiliki sebab dan hukum yang berbeda, sehingga tidak bisa diberlakukan Kaidah di atas. Wallohu A’lam.
Ditulis Oleh : Ustadz Luqman Hakim -hafidzahullah-
Alumni dan Pengajar Ponpes Darul Atsar Al-Islamy Panceng Gresik
Ikuti Juga Channel Telegram Ahlus Sunnah Wal Jama’ah: https://t.me/Ahlus_Sunnah_wal_Jamaah