Dalam menghukumi khamer, najis ataul tidak ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
Pendapat Mayoritas Ulama
Khamer adalah najis mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
{يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ}
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamer (minuman keras) judi dan mengundi nasib adalah rijsun yang termasuk amalan syaitan, maka jauhilah agar kalian beruntung”
Makna Rijsun dalam ayat diatas adalah najis, sebagaimana Firman Allah Ta’ala:
{قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ}
Artinya: “Katakanlah : tidaklah aku mendapatkan di dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena daging babi tersebut kotor.” {QS: Al-An’am:145].
Pendapat Rabi’ah, Daud Adz-Dzhohiri, Laits, Al-Muzani dan lainnya
Khamer adalah suci dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a) hadits Anas Radhiallahu ‘Anhu riwayat Bukhari:
((إن الخمر لما حرمت خرج الناس واراقوها فى الاسواق))
Artinya: “Tatkala diharamkan khamer, manusia keluar dari rumahnya dan menumpahkannya di pasar-pasar.””
Segi pengambilan dalil dari hadist di atas: Pasar kaum muslimin tidak boleh untuk dijadikan tempat pembuangan najis, dan jika ada yang mengakatakan “Apakah Rasulullah ﷺ mengetahui perbuatan sahabat tersebut?” Maka kita jawab: “Jika Rasulullah ﷺ mengetahuinya maka itu termasuk penetapan beliau [bahwa khomer itu tiak najis] sehingga hadits tersebut dihukumi marfu’ secara hukum dan jika beliau tidak mengetahui maka Allah Ta’ala pasti mengetahuinya dan tidak akan mebiarkan hambanya dalam kemungkaran.
b) hadits riwayat Muslim tentang seorang laki-laki yang membawa sebotol khamer untuk dihadiahkan kepada Rasulullahﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
((أما علمت أنها حرمت))
Artinya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwasanya khomer telah diharamkan?”.
Kemudian disarankan oleh laki-laki yang lain untuk menjualnya, maka Rasulullah ﷺ bersabda:
((إن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه))
Artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka maka menharamkan pula harganya (hasil jual belinya)”.
Maka laki-laki itupun membuka tutupnya dan membuang isinya dihadapan Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan untuk mencucinya, padahal kejadian ini terjadi setelah diharamkan khomer.
c) Sesungguhnya asal segala sesuatu adalah suci, kecuali ada yang menajiskannya. Dan tidak ada dalil baik dari Al-qur’an dan As-sunnah yang mengatakan khomer itu najis.
Kesimpulan:
Yang kuat adalah pendapat kedua, yaitu “khomer adalah suci”
Bantahan terhadap pendapat jumhur ulama sebagai berikut:
1.Telah lewat pembahasan tentang makna Rijsun di dalam ayat:
{قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ}
Artinya:”katakanlah: tidaklah aku mendapatkan didalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali jika makanan itu adalah bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena daging babi tersebut kotor.”
Yang dimaksudkan rijsun dalam ayat itu adalah haram. Dan sesuatu yang haram tidak mengharuskan (melazimkan) sebuah kenajisan. Maka jika pondasi asalnya batil maka batil juga cabangnya.
2.Dan seandaimya makna rijsun adalah najis, maka yang dimaksud najis adalah secara makna bukan secara dzatnya. Hal ini karena dua hal:
1.Beriringannya penyebutan “mengundi nasib dan judi” , maka najisnya ini secara makna.
2.Bahwa rijsun di sini dikhususkan dengan firman allah ta’ala (……من عمل الشيطان) yang Artinya: “….termasuk amalam syaithan”, yaitu rijsun tersebut secara amalan dan bukan rijsun ‘ainiyah (dzat).
Lihat Al Majmu’ 520;Asy Syarhu Mumti’ 1/622; Adwa’ul Bayan ayat 44; Ahkamul Qur’an VI/277.r
Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM
Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat
Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.