Makna ((الحيض = haid)) Menurut bahasa
Al-fairus Abadi berkata: “[Haid menurut bahasa] adalah darah yang mengalir.”
An-nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim berkata: “Haid menurut bahasa adalah mengalir. Oleh karena itu dikatakan lembah itu haid apabila lembah itu mengalir.”
Asy-syaukani (menukil dari Al-hafidz Ibnu hajar), beliau berkata: “Makna [haid] adalah mengalir, sedangkan menurut kebiasaan masyarakat arab adalah mengalirnya darah haid”
Makna Haid Menurut Istilah Fikih
Al-Azhari, Al-harowi dan yang lainnya dari kalangan ulama berkata: “Haid adalah mengalirnya darah wanita pada fase-fase tertentu yang mengalir dari rahim setelah ia dewasa (baligh)”. (diambil dari syarah shahih muslim IV/266)
Sebagian ulama yang lain mendefinisikan dengan “mengalirnya darah wanita dari tempat yang khusus dan pada waktu-waktu tertentu.”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam kitabnya Asy-syarhul Mumti’ I/399: “[haid] adalah darah kebiasaan wanita yang terjadi pada waktu-waktu tertentu apabila telah baligh…..”
Hukum Darah Haid
Imam An-nawawi berkata dalam kitabnya Al-majmu’ II: “Saya tidak mengetahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) ulama bahwa darah haid itu najis, kecuali yang telah diceritakan oleh pemilik kitab Al-hawi dari sebagian ahli kalam, bahwa darah haid itu suci. Namun [penyelisihan] ahli kalam tersebut tidak dianggap dalam masalah ijma’ (kesepakatan ulama).
Kemudian beliau berkata dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim III/162: “[Darah haid] walaupun sedikit hukumnya adalah najis berdasarkan kesepakatan seluruh ulama”
Hal ini berdasarkan hadits Asma’:
((حثيه ثم اقرصيه ثم رشيه وصلي فيه))
Artinya: “……keriklah, keroklah, kemudian cucilah dan sholatlah (memakai baju tersebut). HR. Tirmidzi.
Dalam hadits ini beliau ﷺ tidak membedakan darah haid yang sedikit maupun yang banyak, dan tidak bertanya kepada Asma’ berapa banyak darah haidnya, serta beliau tidak memberikan batasan berapa ukuran banyaknya [darah dikatakan najis]. (sumber Kitab Tuhfadzul Ahwadzi I/362.
Imam Asy-syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Author I/40: “[Hadits tersebut] merupakan dalil bahwa darah haid tidak dimaafkan (tetap najis) meskipun sedikit karena hadits tersebut bersifat umum”.
Ibnul Mundzir berkata: “Tidak ada bedanya sedikit ataupun banyak, [darah haid itu tetap najis]. (dalam kitabnya Al-ausath I/147.
Tata cara mensucikan darah haid
Ada sebuah hadits dari Asma’, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:
((جاءت امرأة إلى النبي ﷺ فقالت إحدانا يصيب ثوبها من دم الحيضة كيف تصنع به؟ قال تحثه ثم تقرصه بالماء ثم تنضحه ثم تصلي))
Artinya: “Ada seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ: “Hendaknya ia menguliti [bekas darah yang sudah mengering] kemudian kerik [dengan ujung-ujung jari] sambil di sela-sela air lalu dicuci dan sholatlah [memakai baju tersebut].”
Imam An-nawawi berkata: ” Makna kata ((تحثه)) adalah menguliti, dan kata ((تقرضه)) adalah bermakna mengerik dengan ujung jari sambil di sela-sela dengan air”. (dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim). Ibnu Hajar berkata: ” Yang dimaksud dengan kata ((تحثه)) adalah menghilangkan dzar najis”. (dalam kitabnya Fathul Bari I/331. Pengarang kitab Aunul Ma’bud menukilkan dari Al-Azhari, yaitu: “((تحثه)) bermakna menggosok dengan ujung batu atau yang lainnya”. (I/18-19)
Kemudian ada hadits Ummu Qais Binti Mikhson, yaitu:
((حكيه بضلع واغسليه بماء وسدر))
Artinya: “…gosok/keriklah dengan kuat dan cucilah dengan air serta daun bidara”.
Pemilik Kitab Aunul Ma’bud berkata: ” Adanya penambahan daun bidara hanya sekedar mendapatkan kebersihan yang lebih cemerlang. Dan seandainya tidak memakai daun bidara , memakai air saja sudah mencukupi.” (I/19)
Ibnu Qudamah berkata: “Seandainya hanya sekedar memakai air di dalam menghilangkan darah haid itu, maka hal itu boleh, walaupun warnanya tidak hilang.” (dalam kitabnya Al-mughni I49).
Adapun dalil yang memalingkan wajibnya memakai daun bidara menjadi sunnah adalah hadits Khaulah Binti Yasar, yaitu:
((يكفيك الماء ولا يضرك أثره))
Artinya: “Cukuplah bagimu [memakai] air dan bekas darahnya tidak membahayakanmu.”
Apakah disyaratkan harus hilang dzat najisnya?
An-nawawi berkata: “ketahuilah! bahwa di dalam membersihkan najis wajib hilang dzat najisnya. jika najisnya tidak bisa disaksikan, seperti kencing dan yang semisalnya, maka wajib dicuci satu kali saja dan tidak wajib menambahnya. Adapun apabila najisnya merupakan ‘ainiyyah [bisa disaksikan dengan mata] seperti darah haid dan yang semisalnya, maka harus hilang dzat najisnya.
Adapun bekas dari najis darah haid, itu tidak mengapa berdasarkan hadits Khaulah Binti Yasar tersebut diatas.
Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM
Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat
Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.