Jika sesuatu yang suci seperti sabun, daun bidara, tepung dan lainnya masuk kedalam air sehingga air tersebut berubah sifatnya, apakah air tersebut disebut thohir (suci saja) ataukah thohur (suci dan mensucikan)?.
Pendapat Mayoritas Ulama mengatakan “Air tersebut menjadi suci (saja) tidak mensucikan.” Tetapi mereka mengecualikan air yang berubah disebabkan asal penciptaannya atau karena hal-hal yang sulit untuk dihindarkan dari air. Mereka beralasan: “Air ini bukanlah air mutlak, padahal yang disyariatkan untuk bersuci adalah dengan air mutlak.”
Pendapat Abu Hanifah, Ahmad (dalam satu riwayat) dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Fatawanya 21/XXV; selama masih disebut air dan belum didominasi oleh sebagian benda lain (yang mencampurinya), maka air tersebut thohur (suci dan mensucikan). Tidak ada bedanya antara air yang berubah karena asal penciptaannya dengam air yang berubah karena sebab lain. Juga tidak berbeda antara air yang berubah karena hal-hal yang sulit untuk dihindari seperti dedaunan dengan yang tidak sulit untuk dihindari. [Intinya selama masih memenuhi syarat diatas] maka air tersebut adalah thohur (suci dan mensucikan). Dan Inilah pendapat yang lebih kuat, berdarkan dalil:
1) Firman Allah ﷻ:
{فلم تجدوا ماء فتيمموا}
Artinya: “….kemudian kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah..” QS; Al-maidah : 6.
Kata (ماء = air) dalam ayat itu adalah nakiroh dalam konteks kalimat penafian sehingga mencakup semua air, tidak ada bedanya antara jenis air yang satu dan yang lainnya.
Seandainya ada yang mengkritik: “Yang telah berubah tidak masuk dalam nama air.” Maka jawabannya adalah: “Nama itu digunakan untuk dzat yang bisa diberi nama, tidak ada perbedaan antara perubahan secara asal penciptaan dengan perubahan yang tiba-tiba terjadi, juga tidak ada perbedaan antara perubahan yang mungkin dihindari dengan perubahan yang tidak bisa dihindari, ini secara bahasa. Oleh karena itu apabila ada seorang yang menitipkan kepada orang lain untuk membeli air, atau ia bersumpah tidak akan minum air, tentu ia tidak akan membedakan antara macam air yang satu dengan air yang lainnya.
Seandainya mencakup macam air yang ini, maka mencakup juga yang lainnya. Jika macam air yang ini tidak termasuk, maka demikian juga macam yang lainnya. Maka tatkala telah tercapai kesepakatan bahwa air yang telah berubah baik secara asal ataupun timbul secara tiba-tiba disebabkan oleh hal-hal yang sulit dihindari tetap termasuk air mutlak, maka diketahui bahwa jenis air ini termasuk dalam keumuman ayat.
2) Telah datang hadits dari Nabi ﷺ tentang air laut:
((..هو الطهور ماءه …))
Artinya: “Air laut itu thohur (suci dan mensucikan) airnya”.
Padahal air laut telah mengalami perubahan rasa yang sangat tajam disebabkan asinnya yang terlalu. Jadi ketika Nabi ﷺ memberitahukan bahwa air laut “thohur” (bersama adanya perubahan besar ini), maka berarti air yang perubahannya lebih ringan dibandingkan perubahan air laut lebih utama untuk dikategorikan “thohur” (suci dan mensucikan).
3) Nabi ﷺ memerintahkan untuk memandikan mayat (jenazah) dengan air dan daun bidara, padahal telah dimaklumi bahwa daun bidara pasti akan mengubah air. Seandainya perubahan tersebut akan merusak air maka beliau tidak akan memerintahkan hal itu.
Adapun dari sisi syariat, pembagian ini tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i sehingga tidak perlu diperhatikan. Dan juga orang-orang yang tidak mau memasukkan air yang telah berubah karena benda suci (namun masih dalam kemutlakannya) kedalam kategori thohur mereka berbeda pendapat yang sangat parah. Ini menunjukkan ada kerusakan pada pokok pendapat mereka. Sebagian dari mereka membedakan antara kapur, minyak dan lainnya, padahal tidak ada dalil yang yang bisa dijadikan sandaran untuk pendapat ini, baik berupa nash (dalil dari Al-qur’an dan hadits), qiyas maupun ijma’ (kesepakatan ulama). Maka dengan demikian dari segi syariat tidak ada landasan yang bisa diambil, padahal Allah ﷻ berfirman:
{وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا}
Artinya: “Dan seandainya [Al-qur’an itu] dari sisi selain Allah, pastilah mereka akan mendapatkan perselisihan yang banyak didalamnya” QS; An-nisa : 82.
Sehingga jelas bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah ﷻ terpelihara sebagaimana firman-Nya:
{اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ}
Artinya: “Sesungguhhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan kamilah yang akan menjaganya” QS; Al-hijr : 9.
Maka ini semua menunjukkan lemahnya perkataan mereka ini (diringkas dari perkataan Syaikhul Islam 21/27.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata : “Ini tidak cukup untuk memindahkan air dari kategori “thohir” (suci saja), kecuali jika namanya tekah berubah dan berpisah secara sempurna. Sehingga dikatakan “ini kuah daging” dan “ini kopi susu”. Maka ketika hal itu terjadi tidak lagi dinamakan air (ماء) tetapi disebut minuman (شراب) yang disandarkan pada benda yang telah mengubahnya” (dalam kitabnya Asy-syarhul mumti’ I/38)
Rujukan : Al-mughni I/10-11; Al-majmu’ I/153; Asy syarhul mumti’ I/38; Majmu’ Fatawa XXI/34-39; Al-muhalla I/38.
Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM
Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat
Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.