Kencing manusia terbagi menjadi dua jenis, yaitu kencing anak kecil yang belum makan makanan kecuali susu ibu dan kencing orang dewasa.
Adapun kencing orang dewasa yang telah makan makanan adalah najis, berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama). An-nawawi berkata: “Adapun kencing orang yang sudah besar adalah najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin” (dalam kitabnya Al-majmu’ II/506). Ibnul Mundzir berkata: Hadits-hadits yang tsabit (benar) dari Nabi ﷺ menunjukkan najisnya kencing. Inilah pendapat kebanyakan ulama diantaranya Malik, Ulama Madinah, Ulama Iraq dari kalangan Ashabur Ro’yi dan lainnya, Asy-syafii dan para sahabatnya. Inilah perkataan setiap ulama yang kuhapal dari mereka”. (dalam kitab Al-Ausath II/138)
Adapun kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI adalah najis. Tidak ada yang menyelisihi hal ini selain Daud Dzohiri. Namun perkataannya tentang hal ini tertolak dengan dalil-dalil yang akan datang -insyaAllah-. Imam An-Nawawi berkata: “Ketentuan tentang najisnya kencing manusia telah disepakati oleh ulama-ulama terkemuka yang dianggap perkataannya, baik kencing dari orang yang sudah besar maupun yang masih kecil. Akan tetapi kencing bayi cukup diperciki saja. Kecuali pendapat yang diceritakan dari Daud Dzohiri bahwa ia berpendapat; “Kencing bayi yang belum makan apapun adalah suci.” Namun pendapat beliau tidak dianggap sama sekali”. (dalam ktab Al-majmu’ II/506).
An-Nawawi berkata: “….akan tetapi para ulama peneliti tidak menganggap penyelisihan Daud Dzhohiri sebagai penyelisihan yang dianggap atau tudaklah ijma’ (kesepakatan ulama) itu rusak disebabkan penyelisihan Daud Dzhohiri” (dalam kitab Al-Dzkar 405)
Tetapi yang benar -wallahu a’lam- bahwa ijma’ tersebut rusak karena penyelisihan Daud Dzhohiri. Akan tetapi pendapat Daud Dzohiri adalah pendapat yang marjuh (lemah), karena menyelisihi beberapa dalil berikut:
1) Keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu riwayat Bukhari dan Muslim:
((مر النبي ﷺ على القبرين يعذبان ومما يعذبان من كبير فقال أحدهما فكان لا يستتر من البول))
Artinya: “Nabi ﷺmelewati dua kuburan yang keduanya diadzab dan keduanya tidaklah diadzab karena dosa besar, lalu beliau ﷺ beresabda: “Salah satunya karena tidak menutupi dari [percikan] kencing.” Dan dalam riwayat yang lain: “karena tidak menjaga dari [percikan] kencing”.”
Dengan demikian, [salah satu dari penghuni kubur dalam hadits tersebut] tidak diakatakan diadzab kecuali karena ia terkena najis [lantaran tidak menjaga diri dari percikan kencing ketika ia sedang kencing].
2)Keumuman hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu riwayat Bukhari Muslim:
((فإن علامة عذاب القبر من البول…)
Artinya: “….karena tanda diadzabnya di dalam kubur itu disebabkan [tidak menjaga diri dari percikan] air kencing”.
3) Bahwa Nabi ﷺmemerciki kencing bayi laki-laki dan beliau pula memerintahkan untuk memercikinya. Dengan demikian seandainya kencing bayi laki-laki tersebut tidak najis, tentunya beliau ﷺ tidak akan memerintahkan untuk memercikinya.
Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM
Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat
Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.