Jika air berubah salah satu sifatnya (bau, warna ataupun rasanya) disebabkan najis yang mengenainya, maka air itu najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama). Adapun jika air terkena najis namun tidak berubah, maka Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ausath dan yang lainnya menceritakan 7 pendapat:
- Jika air itu 2 kullah atau lebih maka tidak dihukumi najis, jika kurang dari 2 kullah maka dihukumi najis. Inilah pendapat madzhab Asy-syafi’iyyah, Ibnu Umar, Said bin Jubair, Mujahid, Ahmad, Abu Ubaid dan Ishaq bin Rohawaih. Mereka berdalil dengan hadits-hadits 2 kullah, salah satunya adalah hadits Ibnu Umar: Rasulllah ﷺ ditanya tentang air yang berada di padang sedangkan binatang buas dan hewan hewan ternak bergantian minumdari air tersebut, maka Rasulullah ﷺ bersabda:
(إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث)
Artinya: “Jika air itu berukuran 2 kullah, maka tidak menjadi najis” HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasai.
- Jika air mencapai 40 kullah maka tidak bisa menjadi najis oleh sesuatu apapun. Inilah pendapat Abdullah bin Amr bin Ash, dan Muhammad bin Al-Munkadir. Mereka berdalil dengan lafadz 40 kullah yang disebutkan di sebagian jalan periwayatan hadits tentang air.
- Jika air itu banyak (yaitu 60 qofiz, yang 1 qofiz – 8 mangkuk dan 1 mangkuk = 1,5 sho’, maka 60 qofiz = 720 sho’), tidak bisa najis oleh sesuatupu. Inilah pendapat Masruq dan Ibnu Sirin, dengan demikian air sebanyak (yaitu 12 wasaq = 60 sho’).
- Jika air itu mencapai 2 timba penuh, maka tidak bisa najis. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu.
- Jika air itu 40 timba maka tidak najis. Ini adalah pendapat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
- Jika tepi air yang satu digerakkan, lalu ternyata pinggir/tepi ujung yang lain ikut bergerak, maka air tersebut bisa najis, sedangkan jika tepi yang lain tidak ikut bergerak, maka air tersebut tidak bisa najis. Ini adalah pendapat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu.
- Air yang banyak dan sedikit tidak najis, kecuali jika terjadi perubahan. Ini pendapt Ibnu Abbas Radiallahu ‘Anhu dalam satu riwayat, Ibnu Musayyab, Al-hasan Al-bashri, Ikrimah, Sa’id Bin Jubair, Atho’, Abdurrahman, Ibnu Abi Laila, Jabir Bin Zaid, Yahya Bin Said Al-Qothon dan Abdurrahman bin Mahdi. Ini juga merupakan Madzhab Imam Malik, Auza’i, Sufyan Ats-tsauri, Dawud serta dinukil dari Abu Hurairah Radiallahu ‘Anhu dan An-nakho’i. Ibnul Mundzir berkata berkata: “Dengan pendapat inilah aku berpendapat”. Kemudian An-nawawi berkata: “Pendapat ini yang paling kuat setelah madzhab kami” (dalam kitabnya Al-Majmu’ I/112-125.
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat katujuh ini adalah pendapat yang paling kuat, Yang demikian itu karena hal-hal sebagai berikut:
Hadiits Sa’id Al-khudri yaitu:
(الماء طهور لا ينجسه شيء إلا ما تغير ريحه أو لونه أو طعمه)
Artinya: “Air adalah thohur (suci dan mensucikan) tidak ada sesuatu apapun dapan menajiskannya, kecuali [sampai] berubah bau, warna dan rasanya”.
Adapun dalil yang dipakai Asy-syafi’iyyah dengan hadits 2 kullah maka bisa dijawab; Hadits tersebut shohih, namunmempunyai makna yang tersurat dan makna yang tersirat. Makna yang tersurat yaitu “jika air telah mencapai 2 kullah, maka tidak bisa najis [dengan sesuatu apapaun]”. Namun ini tidaklah berlaku secara umum sebab ada pengecualiannya, yaitu jika air yang 2 kullah berubah sifatnya karena terkena najis maka air itu menjadi najis berdasarkan kesepakatan ulama. Sedangkan makna yang tersirat adalah “Air yang kurang dari 2 kullah bisa menjadi najis [jika terkena najis meskipun tidak berubah sifatnya].” Namun ini tidaklah benar, karena air yang kurang dari 2 kullah itu menjadi najis, jika air itu mengalami perubahan karena terkena najis [bukan semata-mata terkena najis lalu menjadi najis meskipun tidak berubah sifatnya].
Sebab makna yang tersurat dari hafits
(إن الماء طهور لا ينجسه شيئ)
lebih didahulukan dari makna yang tersirat. Sehingga makna yang tersirat tersebut bisa berlaku pada satu bentuk (keadaan) saja, yaitu apabila (yang kurang dari 2 kullah) berubah sifatnya karena terkena najis.” (diambil dari kitab Asy-syarhul Mumti’ I/33).
Adapun dalil pendapat kedua dengan riwayat 40 kullah maka tidak ada yang tsabit (benar) mengenai hal itu. Adapun dalil pendapat ketiga, keempat, kelima dan keenam maka tidak ada dalil yang dapat dijadikan sandaran.
Rujukan: Asy-syarhul Mumti’ I/33, Syarah Sunan Nasai II/22, Al-ausath I/269 dan Al-Majmu’ I/112.
Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM
Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat
Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.