SEKILAS INFO
: - Selasa, 03-12-2024
  • 5 bulan yang lalu / Dibuka Penerimaan Santri Baru tahun ajaran 2025/2026, untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi 0813 3001 3379 atau 0895 3046 1325
  • 1 tahun yang lalu / Dimulainya KBM Semester Genap Pondok Pesantren Darul Atsar Al-Islamy Tahun Ajaran 2022/2023
  • 2 tahun yang lalu / Telah dibuka PENDAFTARAN SANTRI BARU Tahun Ajaran 2023/2024, dibuka mulai tanggal 10 November 2022, segeralah mendaftar ! quota terbatas !

Para Ulama berbeda pendapat menjadi 2 pendapat dalam najis atau sucinya. Sebagian ulama berpendapat bahwa kencing dan kotorannya adalah najis. Salah satu dalil pendapat ini adalah hadits Abdullah bin Ma’ud Radhiallahu Anhu:

أتى النبي ﷺ الغائط فأمرني أن آتيه بثلاثة أحجار فوجدت حجرين قألتست الثالثة لم أجده فأخذت الروثة فآتيته بها فأخذ الحجرين ألقى الروثة وقال هذا ركس 

Artinya: “Nabi ﷺ hendak buang hajat, lalu beliau memerintahkanku untuk mendatangkan kepadanya 3 batu, namun aku mendapatkan 2 batu lalu aku mencari yang ketiga tapi tidak mendapatkannya. Kemudian aku mengambil kotoran, lalu kuberikan kepadanya, tetapi beliau hanya mengambil 2 batu dan membuang kotoran, seraya berkata: “Ini adalah Riksun.””

Dan juga berdalil dengan makna yang tersirat dari hadits Jabir, yaitu:

لا بأس ببول ما يؤكل لحمه

 

Artinya: “Kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya tidak apa-apa”.

Sebagian ulama yang lain berpendapat sucinya kencing dan kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya. Dengan dasar kaidah “Asal segala sesuatu adalah suci.”

Namun pendapat yang palimh kuat adalah pendapat kedua, yaitu sucinya kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan. Adapun bantahan terhadap pendapat pertama sebagai berikut:

1, Tidak bisa berdalil dengan hadits tersebut, karena kotoran pada hadits itu khusus untuk kotoran kuda, bighol dan himar. Sebagiamana dinukil oleh At-taimi. Dan Ibnu Khuzaimah menambahkan lafadz dalam sebagian jalan periwayatan yaitu:

إنها ركس إنها روثة الحمار

Artinya: “Sesungguhnya itu adlah riksun, sungguh itu adalah kotoran keledai”.

Kemudian lafadz ((ركس = kotoran)) dalam hadits tersebut mempunyai beberapa makna yaitu: najis, yang kotor, perbuatan yang jelek, adzab, laknat dan kekafiran (sebagaimana dalam kitab Lisanul Arab). Dengan demikian lafadz dalam hadits tersebut bermakna apa? Sedangkan tidak ada dalil yang menentukan salah satu dari makna tersebut. Oleh karena itu hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas najisnya kotoran, karena ada beberapa kemungkinan. Wallahu A’lam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Nabi ﷺ mengatakan (إنها ركس) dalam hadits tersebut diatas) karena merupakan routs (kotoran) yang bisa jadi kotoran manusia atau kotoran yang lainnya, namun kejadian tersebut sebatas pada kejadian waktu itu saja. Kemudian Routs (kotoran) tersebut ada kemungkinan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya atau kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya… Namun demikian lafadz (ركس) tidak menunjukkan bahwa kotoran hewan itu najis karena lafadz (ركس) bermakna (المورود = dikembalikan) yang semakna dengan lafadz (الرجيع = kotoran). Sedangkan sudah lumrah bahwa bersuci / beristinja’ dengan (الرجيع = kotoran) tidak boleh dalam keadaan bagaimanapun. Hal iti disebabkan karena najisnya kotoran tersebut atau karena merupakan makanan hewan piaraan saudara kita dari kalangan jin” (Kitab Al-Fatawa 21/578)

2. Adapun hadits Jabir Radhiallahu Anhu adalah hadits yang sangat lemah, karena di dalam jalan periwayatannya ada Amr bin Husein Al-Aqiel yang sangat lemah. Abu Hatim berkomentar: ” Hafalannya sangat lemah dan tidak dianggap sama sekali.” Dan juga ada Yahya bin Al-Alla’ yang dikatakan oleh Imam Ahmad “pendusta!” dan An-Nasai berkata: “Matruk (ditinggalkan)”.

Pendapat ini pula yang diakuatkan olehh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Author: “Dan kesimpulan akhir dari pembahasan tentang kencing dan kotoran adalah bahwa kencing dan kencing dan kotoran yang najis hanya terbatas pada kencing dan kotoran manusia serta Routs”.

Tetapi masalah Routs yang benar adalah tidak najis. Wallahu A’lam.

 

Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM

Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat

Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Visi Misi Dan Program Unggulan Ponpes

Kegiatan UAS Pondok Pesantren