Seluruh Ulama sepakat sebakat bahwa kotoran manusia adalah najis. Baik kotoran manusia yang masih kecil ataupun yang sudah besar.
Adapun mengenai kencing dan kotoran selain manusia, yang mencakup hewan yang boleh dimakan dagingnya dan yang tidak boleh dimakan, Ulama berbeda pendapat:
1) Asy-syafi’iyah, Al-hanafiyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm dan Al-Khotthobi, semua berpendapat semua kencing dan kotoran itu najis berdasarkan:
- Keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu:
((مر النبي ﷺ على القبرين يعذبان ومما يعذبان من كبير فقال أحدهما فكان لا يستتر من البول))
Artinya: “Nabi ﷺmelewati dua kuburan yang keduanya diadzab dan keduanya tidaklah diadzab karena dosa besar, lalu beliau ؤ beresabda: “Salah satunya karena tidak menutupi dari [percikan] kencing.” Dan dalam riwayat yang lain: “karena tidak menjaga dari [percikan] kencing”.” HR. Bukhari Muslim.
dan hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:
((فإن علامة عذاب القبر من البول…)
Artinya: “….karena tanda diadzabnya di dalam kubur itu disebabkan [tidak menjaga diri dari percikan] air kencing”. HR. Bukhari Muslim.
Al-Khotthobi berkata: “Dalam hadits ini adalaj dalil bahwa kencing adalah najis semuanya, baik dagingnya bisa dimakan ataupun tidak, karena adanya lafadz hadits tersebut secara mutlak berdasarkan keumumannya dan mencakup semuanya”. (dalam kitabnya Al-Mu’allim.
- Rasulullah ﷺ melarang sholat di kandang unta, sehingga mereka mengatakan: “Rasulullah ﷺ melarang hal itu karena kandang tersebut ada kencing dan kotorannya. (lihat Asy-syarhu Mumti’)
- Firman Allah ﷻ
{وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ}
Artinya: “Diharamkan kepada kalian Al-Khobaits (kotoran).”
- Hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha
((قال رسول الله ﷺ لا صلاة بحضرة الطعام ولا وهو يدافع الأخبثان))
Artinya: “Radulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada sholat jika makanan telah dihidangkan dan juga jika ia menahan dua kotoran”.
Mereka mengatakan: “Dua kotoran tersebut adalah kencing dan kotoran.” Sehingga mereka berkata: “[Hadits] ini memberitahukan bahwa setiap kencing dan kotoran dinamakan khobats (kotor). Sedangkan khobats (kotor) tidak lain melainkan haram dan yang haram tidak lain kecuali najis” (Lihat Al-Majmu’ Fatawa).
2) Malik, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), An-Nakho’i, Az-zuhri, Al-auza’i, Muhammad Bin Al-Hasan, Zufar, sekelompok dari salaf dan dicocoki oleh sebagian ulama Syafi’iyah yaitu Ibnu Khuzaimah, Ibnul Munzir dan Ibnu Hibban. Mereka semua berpendapat “kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah suci” (Lihat kitab Nailul Author I/49 dan Al-Fatawa I/914).
Pendapat yang kedua inilah yang lebih kuat -insya Allah- dan kami akan menyebutkan bantahan-bantahan terhadap pendapat pertama, kemudian kami akan menyebutkan dalil-dalil pendapat yang kedua secara lengkap beserta perdebatan antara keduanya -insya Allah-.
Adapun jawaban terhadap pendapat pertama, satu persatu, yaitua;
- [Dalil pertama yang digunakan oleh pendapat pertama] perlu ditinjau kembali. Karena Ibnu Batthol dalam kitab Syarah Bukhari berkata: “Bukhari menginginkan bahwa yang dimaksud dengan hadits (فكان لا يتنزه من البول = karena ia tidak menjada dari kencing) adalah kencing manusia bukan kencing seluruh hewan. Oleh karena itu hadits tersebut bukan hujjah dalil bagi pendapat pertama.Al-hafidz Ibnu Hajar berkata: “Seakan-akan Ibnu Batthol ingin membantah kepada Al-Khotthobi. Bahkan yang dimaksud dengan riwayat (من البول = dari kencing) adalah umum [mencakup semua kencing], namun diinginkan khusus [untuk kencing manusia saja] karena adanya [perkataan Bukhori ketika membuat bab] dengan lafadz (من البول = dari kencing), yaitu kencing manusia. Oleh karena itu alif dan lam (ال) pada lafadz (البول) adalah gantian dan dhomir lafadz (بوله).Al-Qurthubi berkata: “Lafadz (من البول) adalah isim mufrod tidak berfungsi umum. Dan seandainya bermakna umum, maka hal ini dikhususkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan tentang sucinya kencing hewan yang boleh dimakan dagingnya” (dalan kitabnya Aunul Ma’bud I/250).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melemahkan yang berdalil dengan hadits tersebut [bahwa semua kencing dan kotoran adalah najis], dengan 7 segi bantahan, (dalam kitab Majmu’ Fatawa XXVI/549). Hendaknua pembawa membacanya dalam kitab tersebut karena hal itu sangat penting.
- Dalil yang kedua [yang dipakai pendapat pertama], bisa dibantah. Berkata Syaik Ibnu Utsaimin: “Adapun sebab dilarangnya [sholat di kandang unta], bukanlah karena najisnya [kotoran dan kencingnya]. Oleh karena beda antara unta dan kambing [karena Nabi ﷺ pernah sholat dan mengizinkan sholat di kandang kambing]. Dengan demikian sebab dilarangnya [sholat di kandang unta] adalah perkara lain [bukan karena najisnya]. Ada yang berpendapat; “Hukum tersebut adalah perkara ta’bbudiyah (semata-mata karena ibadah). Ada yang mengatakan: Apabila sholat di kandang unta tersebut, ditakutkan untanya datang menempati kandangnya, sehingga sholatnya kacau karena besarnya tubuh onta tersebut. Sedangkan jika sholat di kandang kambing tidak demikian. Ada juga yang mengatakan: Bahwa karena unta diciptakan dari syaithon sebagaimana dalam hadits, namun maknanya bukan bermakna bahwa asal materi/unsur unta itu dari syathon, tetapi bermakna bahwa unta diciptakan dengan sifat-sifat syetan” (dalam kitab Asy-syarhu Mumti’ I/281).Oleh karena itu jika sebab dilarangnya [sholat di kandang unta], ada beberapa kemungkinan di atas, maka tidaklah sempurna (benar) berdalil dengan hadits itu [dalam mengatakan najisnya kencing dan kotoran semua hewan].
- Dalil yang ketiga [yang dipakai pendapat pertama], bisa dibantah. Karena tidak setiap yang menjijikkan adalah najis, karena jika dikatakan najis, maka seperti ingus, mani dan dahak / ludah adalah najis. Oleh karena itulah maka tidak ada kelaziman antara sesuatu yang menjijikkan dengan najis.
- Dalil yang keempat [yang dipakai] bisa dibantah: “Berkata Syaikhul Islam: “Bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berpendapat najisnya kencing dan kotoran hewan. Bahkan perkataan yang mengatakan najis adalah perkataan yang baru yang tidak ada salafnya dari kalangan sahabat. Sungguh kami telah memaparkan semua pendapat dalam masalah ini dalam kitab tersendiri dan kami jelaskan di dalamnnya kira-kira 13 – 19 dalil-dalil syar’i, bahwa kencing dan kotoran hewan itu tidak najis. Dan orang berpendapat najis, tentu orang tersebut tidak memiliki dalil syar’i sedikitpun. Karena dalil maksimal yang mereka pakai adalah sabda Nabi (تترهوا من البول = menjauhlah (jagalah) dari kencing). (dalam kitab Majmu’ Fatawa XXI/216)
Adapun dalil-dalil tentang sucinya kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah sebagai berikut:
- Hukum asal segala sesuatu adalah suci, maka barangsiapa mengklaim/menghukumi sesuatu itu najis, harus mendatangkan dalil.
- Hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, “Bahwa Nabi ﷺ memerintah kepada kaum ‘Uroniyyin, yang mereka baru masuk islam untuk pergi ke tempat unta hasih shodaqoh dan memerintahkan supaya mereka minum air kencing dan susu unta tersebut (sebagai obat).” Dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk mencuci air kencing unta tersebut yang mengenai mulut dan tangan-tangan mereka dan tidak pula memerintahkan untuk mencuci wadah-wadah yang digunakan sebagai wadah, padahal mereka itu baru masuk islam, seandainya kencing binatang [dihukumi] seperti kencing manusia, tentu menjelaskan hal itu wajib [bagi Nabi ﷺ]. Sedangkan menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan tidak boleh, lebih-lebih mereka baru masuk islam.
- Hadits “Bahwa Nabi ﷺ sholat di dalam kandang kambing dan beliaupun mengizinkan sholat di dalam kandang kambing tanpa ada syarat tertentu.” Dan seandainya kotoran hewan itu najis, tentu kandangnya seperti halnya WC manusia yang tentu beliau akan melarang sholat di dalam kandang binatang secara mutlak.
- Nabi ﷺ pernah thowaf (memutari) Ka’bah di atas tunggangannya, padahal kemungkinan besar tunggangan beliau itu kencing [pada waktu itu].
- Hadits Jabir Radhiallahu ‘Anhu:
((ما أكل لحمه فلا بأس ببوله))
Artinya: “Hewan yang bisa dimakan dagingnya, tidak apa-apa kencingnya”.
Tapi hadits ini dho’if (lemah) karena ada perowi yang bernama Sawwar Bin Mus’ab
dan Hadits Baro’ Radhiallahu ‘Anhu:
((لا بأس ببوله ما أكل لحمه))
Artinya: “Tidak apa-apa kencing binatang yang bisa dimakan dagingnya”.
Tetapi haditsnya lemah juga, karena ada perowi yang bernama Amr Bin Husein dan Yahya Bin Al-’Alaa’.
[Inilah dalil-dalil tentang sucinya kencing dan kotoran binatang]. Namun Ibnu Hazm menjawab terhadap dalil yang kedua di atas, dalam kitab Muhalla, yaitu hadits Anas Radhiallahu ‘Anhu tentang kencing dan susu unta [yang diminum sebagai obat], tidak ada hujjah untuk mengatakan sucinya kotoran binatang, karena Nabi ﷺ membolehkan kepada kaum Uruniyyin untuk minum kencing dan susu onta sekedar sebagai obat dari sakit. Sedangkan berobat itu adalah darurat (terpaksa). Sebagaimana firman Allah ﷻ:
{وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ}
Artinya: “Dan sungguh telah diperinci kepada kalian apa saja diharamkan bagi kalian, kecuali apa yang terpaksa terhadapnya”.
Jawaban terhadap bantahan Ibnu Hazm ini adalah berkata Syaikhul Islam: “Adapun bolehnya [minum sesuatu yang najis (haram)] karena terpaksa adalah benar. Namun berobat bukanlah perkara yang darurat (terpaksa), karena beberapa segi (sebagaimana dalam kitab Al-fatawa XXI/563):
- Kebanyakan orang sakit disembuhkan dengan tanpa berobat, terlebih orang-orang yang hidupnya berpindah-pindah (badawi), penduduk-penduduk desa dan tempat, di segala penjuru dunia. Mereka disembuhkan oleh Allah ﷻ dengan kekebalan tubuh (imun) yang diciptakan oleh Allah ﷻ, yang dapat menahan diri dari berbagai penyakit. Dan juga dengan hal-hal yang Allah ﷻ mudahkan bagi mereka, berupa aktivitas, gerakan dan pekerjaan, doa, ruqyah yang bermanfaat, kekuatan hati/jiwa dan kebagusan dalam bertawakkal. Serta sebab-sebab yang lain yang sangat banyak jumlahnya selain obat. Adapun makan itu bersifat darurat (harus/terpaksa). Allah ﷻ tidaklah menjadikan tubuh-tubuh hewan itu dapat tegak kecuali dengan makanan, seandainya tidak makan pastilah akan mati. Dengan demikian tetaplah bahwa berobat tidak termasuk darurat sama sekali.
- Dalam keadaan darurat (terpaksa) makan adalah wajib. Masruq berkata: “Barangsiapa sangat terpaksa membutuhkan makanan [dan tidak ada makanan kecuali bangkai] kemudian ia tidak memakan bangkai tersebut sehingga menyebabkan ia mati [karena itu], maka orang itu masuk neraka. “Sedangkan berobat tidaklah wajib. Dan barangsiapa menyelisihi hal ini, akan terbantah dengah hadits tentang kisah seorang wanita hitam yang diberi pilihan oleh Nabi ﷺ antara bersabar terhadap penyakit yang menimpanya kemudian masuk surga dengan didoakan supaya sembuh [sehat]. Kemudian wanita tersebut memilih bersabar terhadap penyakitnya dan masuk surga.Seandainya menghilangkan penyakit (berobat ) itu wajib, tentu Nabi ﷺ tidak akan memberikan pilihan seperti halnya menghilangkan rasa lapar [yang membahayakan]. Dan juga orang yang menyelisihi hal tersebut terbantah dengan keadaan para Nabi-nabi yang mereka ditimpakan bala’ dan ujian namun mereka bersabar terhadap segala penyakit yang menimpa yaitu mereka yang tidak berobat dengan sebab yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit itu. Seperti Nabi Ayyub dan yang lainnya. Serta terbantah dengan keadaan salafus sholih (para sahabat, tabi’in dan tabiut tabiin). Sebagaimana Abu bakar ketika sahabat yang lain berkata kepadanya: “Maukah kami panggilkan tabib / dokter?”, beliau menjawab: “Dokter leah melihatku !” lalu sahabat yang lain berkata: “Bagaimana komentar dokter tersebut? “, beliau menjawab: “dokter tersebut berkata: “Sesungguhnya aku mengerjakan apa yang aku mau”.
Saya tidak mengetahui seorang salafpun ada yang mewajibkan berobat. Bahkan kebanyakan orang-orang yang mempunyai keutamaan dan pengetahuan, mereka mengutamakan untuk tidak berobat demi meraih keutamaan dan lebih memilih terhadap yang dipilihkan Allah ﷻ dan diridhoi-Nya serta pasrah terhadap pilihan Allah ﷻ tersebut.
- Bahwa obat bukan sesuatu yang pasti [akan menyembuhkan atau akan menimbulkan kematian apabila ditinggalkan]. Bahkan kebanyakannya tidak ada dugaan bahwa obat akan bisa menyembuhkan. Seandainya ia tidak berobat belum tentu ia mati. Berbeda dengan menolak untuk makan dalam keadaan sangat lapar, karena pasti [akan menimbulkan kematian] sesuai dengan hukum sunnatullah (hukum alam) bagi hamba-hamba-Nya dan makhluk-makhlukNya yang lain..
- Penyakit tertentu bisa diobati dengan obat yang bermacam-macam sehingga apabila tidak boleh berobat dengan yang haram maka hendaknya ia berobat dengan yang halal. Dan mustahil tidak ada obat yang halal untuk penyakit tersebut. Karena Allah ﷻ yang menurunkan penyakit Dia pula yang menurunkan segala obatnya kecuali obat dari kematian.
Kemudian Ibnu Hazm berkata dalam rangka menentang dalil-dalil pendapat kedua, yaitu: “Sungguh terkadang pengembala [kambing] itu kencing di kandang kambingnya. Sedangkan hal ini bukan dalil untuk sucinya kencing bagi manusia.”
Jawabannya: Bagaimana bisa hadits tersebut dipahami dengan pemahaman yang sangat jauh? Dan tidak dibawa pada kenyataan yang paling dekat? Yaitu kencing binatang ternak (kambing) yang memang terdapat dalam kandangnya. Dan Nabi ﷺ mengizinkan sholat di kandang kambing merupakan bukti yang paling kuat bahwa kencing kambing itu suci.
Lagipula seandainya kita mendatangkan suatu hukum yang pasti kemudian kita bawa terhadap berbagai kemungkinan. baik kemungkinan yang dekat maupun yang jauh, tentu kebanyakan hukum-hukum yang ada akan gugur, karena dalam hukum suatu dalil (nash) mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemudian Syaikhul Islam berkata mengenai hadits sholat di kandang kambing: “Segi pendalilan tentang sucinya kencing binatang yang boleh dimakan dagingnya, ada dua segi:
- Bahwa izin beliau untuk sholat di kandang kambing, tidak disyaratkan oleh beliau untuk menjaga pakaian di tempat itu [dari kencing dan kotoran kambing], padahal saat seperti itu sangat dibutuhkan penjelasan [dari beliau]. Sehingga pada keadaan seperti ini sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-syafi’i yaitu: “Tidak adanya rincian dari Nabi ﷺ dalam suatu keadaan, padahal perkara tersebut mempunyai beberapa kemungkinan. maka sikap beliau tersebut menduduki kedudukan keumuman perkataan beliau.” beliau tidak merinci kepada sahabat yang bertanya [tentang sholat di kandang kambing], apakah di sana ada hal-hal yang menghalangi atau tidak. Padahal sangat jelas adanya kemungkinan [terkena kencing atau kotoran kambing tersebut]. Sedangkan beliau ﷺ mencukupkan dengan mengizinkan sholat di kandang kambing begitu saja padahal perincian penjelasan pada waktu itu sangat ditekankan. Oleh karena itu, ini merupakan yang paling memperkuat sucinya kencing dan kotoran kambing.Perkataan ini juga membantah kepada orang yang mengatakan bahwa adanya sholat di kandang kambing di hadits tersebut mempunyai kemungkinan mamakai alas yang dapat menjaga dari terkenanya kotoran di kandang itu.
- Seandainya kotoran kambing itu najis sebagaimana halnya kotoran manusia, tentu sholat di kandangnya adalah haram hukumnya atau sangat makruh sebagaimana kotoran / tahi manusia.Apabila ada yang berkomentar: “Ada hadits Anas yang diriwayatkan oleh Bukhari yaitu, “Nabi ﷺ sholat di kandang kambing sebelum membangun masjid”. Oleh karena itu kejadian tersebut terjadi di awal hijrah, sebelum datang wahyu untuk menjauhi degala kotoran dan kencing”.
Maka jawabannya: “Pernyataannya tersebut perlu ditinjau kembali, sebagaimana perkataan Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, karena Nabi ﷺ memberi izin untuk sholat di kandang kambing adalah hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim [sedangkan Jabir masuk islam akhir-akhir].
Seandainya ada yang berkomentar: “Seandainya perintah beliau ﷺ untuk sholat di kandang kambing itu sebagai dalil untuk sucinya kencing dan kotorannya, tentu larangan beliau ﷺ untuk sholat di kandang unta merupakan dalil untuk najisnya kencing dan kotorannya. Jika tidak demikian maka perintah untuk sholat di kandang kambing juga bukan dalil untuk suci kencing dan kotorannya. Maka jawabannya adalah tidak melazimkan demikian, karena larangan untuk sholat di kandang unta bisa jadi karena sebab yang lain, [seperti tabiat unta yang suka menggigit dan menendang] bukan karena najisnya kencing kotoran!.