SEKILAS INFO
: - Selasa, 05-11-2024
  • 4 bulan yang lalu / Dibuka Penerimaan Santri Baru tahun ajaran 2025/2026, untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi 0813 3001 3379 atau 0895 3046 1325
  • 1 tahun yang lalu / Dimulainya KBM Semester Genap Pondok Pesantren Darul Atsar Al-Islamy Tahun Ajaran 2022/2023
  • 1 tahun yang lalu / Telah dibuka PENDAFTARAN SANTRI BARU Tahun Ajaran 2023/2024, dibuka mulai tanggal 10 November 2022, segeralah mendaftar ! quota terbatas !

Kaidah penting yang berkaitan dengan bab ini adalah perkataan Asy-syaukani dalam kitabnya Sailul Jaror (I/46): “Ketahuilah bahwa perkara ibadah yang berkaitan dengan menghilangkan najis dan mengangkat dzat atau bekasnya, ada kalanya dijelaskan tata caranya secara terperinci dan  tidak boleh tersisa sedikitpun dzat atau warnanya, sebagiamana diterangkan dalam hadits Ummu Qois Binti Mihsan riwayat Imam Ahmad tentang darah haidh, Rasulullah ﷺ bersabda:

((حكيه واغسليه بماء وسدر))

Artinya: “Keriklah kemudian cucilah dengan air dicampur dengan bidara”.

Dan juga hadits tentang cara mencuci bekas jilatan anjing, yaitu dicuci tujuh kali dicampur dengan tanah atau debu. Dalam mencuci ditekankan untuk menghilangkan bekas air liurnya……

Atau ada kalanya tidak dijelaskan tata caranya secara terperinci, seperti hadits tentang menyiram dengan setimba air terhadap air kencing seorang badui dalam masjid, dan hadits tentang memercikkan air pada kencing bayi laki-laki yang mengenai pakaian dan hadits mengusapkan sandal ke bumi jika terlihat ada najis padanya.

Ringkasnya:

Wajib bagi kita melaksanakan apa saja yang diperintahkan kepada kita sebagaimana adanya dalam syariat, bagaimanapun bentuknya dan kita tidak boleh mengembalikan masalah ini pada akal-akal kita atau pada perasaan yang didasari oleh sikap was-was serta ragu-ragu, yang akhirnya membawa kita menyelisihi apa yang ada di dalam syariat. Maka hendaknya kita tinggalkan keraguan dalam diri kita dan juga yang lainnya, “bahwa dzat najis tertentu terkadang masih tersisa bekasnya atau warnanya atau baunya atau rasanya, padahal sudah dicuci dengan cara yang diperintahkan syariat kepada kita”. Karena yang demikian itu termasuk was-was dari was-was syaitan.

Apabila hal ini telah mantap bagi kita, maka kita telah mengetahui bahwa segala sesuatu yang telah ditetapkan tata caranya oleh syariat dalam mensucikan najis, maka mensucikannya adalah dengan cara yang telah tetap dalam syariat tersebut, sama saja apakah itu termasuk najis mugholladzoh (berat), atau mukhoffafah (ringan), dzhoriyyah (nampak), atai khofiyyah (samar).

Adapun menurut syariat adalah najis atau terkena najis dan tidak ada dalil syar’i menerangkan tentang tata cara mencucinya maka wajib bagi kita mencucinya dengan suatu tindakan yang bisa dikategorikan sebagai usaha menghilangkan najis.

Apabila najis tersebut tidak nampak, misalnya: air kencing dan yang sejenisnya maka dicuci sampai diperkirakan tidak tersisa sedikitpun najis tersebut pada baju yang dicuci atau sejenisnya. Akan tetapi perkiraan tersebut harus didasari pengetahuan tentang najis dan cara mencucinya bukan perkiraan yang didasari dengan keraguan dan kesamaran, apabila najisnya dzhohir dan nampak bisa dilihat dengan mata maka membersihkannya dengan cara dicuci sampai tidak tersisa warna dan baunya karena seandainya masih tersisa dzat, warna dan baunya tidak dikatakan menghilangkan najis dengan sebenar-benarnya.

Berkata Imam An-nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim (III/162): “Ketahuilah bahwa yang wajib didalam menghilangkan najis adalah membersihkan sampai hilang najisnya dan jika najisnya “hukmiyyah” yaitu najis yang tidak bisa dilihat dengan mata, misalnya air kencing dan yang semisalnya maka wajib mencucinya sekali, dan tidak wajib menambahnya. Adapun jika najisnya “ainiyyah” yaitu bisa dilihat dengan mata misalnya: darah, dan lainnya, maka diwajibkan untuk menghilangkan dzatnya.

Jika kita memahami beberapa kaidah di atas dengan baik, maka kita akan mengetahui bahwa perkataan yang paling benar dalam tata cara membersihkan najis adalah perkataan mayoritas ulama yaitu: “cukup mencucinya sekali, menghilangkan dzat najis, dan mensucikan tempatnya (bekas najis)”.

Jika tidak hilang najisnya setelah dicuci maka ditambah dengan cucian yang kedua, ketiga, dan seterusnya….. meskipun sepuluh kali sampai suci bekas (tempatnya) dan dalil yang mendasari adalah sabda Rasulullah ﷺ kepada seorang perempuan yang memandikan jenazah putri beliau Zianab. Rasulullah ﷺ bersabda:

((اغسلنها ثلاثا أو خمسا أو سبعا أوأكثرإن رأيتن ذلك ))

ِArtinya: “Madikanlah ia tiga kali, atau lima kali, atau tujuh kali, atau lebih [dari itu], jika kalian melihat hal itu…..”

memandikan jenazah bukanlah membersihkan dari najis secara umum maka jika dalam memandikan jenazah Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menambahnya sampai tujuh kali jika orang yang mamandikannya melihat masih ada kotoran, maka lebih utama lagi didalam membersihkan najis. Bahkan wajib untuk menambahnya dalam pencucian, sampai suci dari dari najis. Inilah pendapat yang benar, diakarenakan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah ﷺ tidak menyebutkan adanya pembatasan pada pencucian bilangan tertentu dalam mencuci.

Madzhab Malikiyyah berpendapat dan satu riwayat dari Imam Ahmad: “Sudah mencukupi di dalam mencuci najis selain air liur anjing, dengan tujuh kali pencucian tanpa disertai dengan debu. Dan wajib di dalam tujuh kali pencucian tersebut dicuci kemudian diperas, kemudian dicuci lagi kemudian diperas, demikian sampai tujuh kali, jika memerlukan untuk digosok atau dikucek maka wajib dilakukan.” Dalil yang digunakan oleh pendapat ini adalah atsar dari Ibnu Umar, ia berkata: “أمرنا بغسل الأجناس سبعا”, Artinya: “Kami diperintahkan mencuci najis tujuh kali”. Apabila perkataan sahabat dengan lafadz ( أمرنا = kami diperintahkan), maka yang memerintahkan adalah Rasulullah ﷺ maka jadilah atsar ini “marfu’ hukman”  (disandarkan kepada Rasulullah ﷺ) akan tetapi hadits ini dho’if, tidak ada asalnya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat yaitu membersihkan najis harus dengan mencucinya sebanyak tiga kali, Dengan dalil bahwa Rasulullah ﷺ mengulang-ulang perbuatan didalam wudhu sebanyak tiga kali. Maka bantahan terhadap pendapat ini adalah: Perkataan dan perbuatan Nabi ﷺ dalam mensucikan najis menolak pendapat tersebut, karena seandainya mensucikan najis 3 kali, tentu Rasulullah ﷺ akan menjelaskannya baik dengan perkataan atau perbuatan, karena meninggalkan keterangan pada saat diperlukan adalah tidak boleh, terutama dalam masalah yang sering terjadi pada manusia.

 

Maroji (sumber): Al-majmu’ II/543, Al-mughni I/75, Syarh Mumti’ I/260, Al-bidayah II/223.

 

Ustadz Dr. HC. Kholiful Hadi SE,.MM

Dalam kitabnya Adz-Dzakiratun Nafisah Fi Ahkamil ‘Ibadat

Diterjemahkan oleh: Abu Musa, Abu Ahmad, dan Luqman Hakim.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Visi Misi Dan Program Unggulan Ponpes

Kegiatan UAS Pondok Pesantren